ANIMASI SITE PLAN - KTM CAHAYA BARU

August 07, 2008

Berebut Harapan di Tanah Transmigrasi

Sepintas tidak ada yang istimewa dari Desa Bagelen yang terletak di Kecamatan Gedong Tataan, Lampung Selatan. Padahal, di sinilah sejarah transmigrasi Indonesia dimulai saat pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 43 orang asal Kedu, Jawa Tengah, pada 1905. Mereka dikirim ke kawasan ini untuk membuka lahan pertanian dan pemukiman yang saat itu masih berupa hutan lebat. Kini, Desa Bagelen dihuni sekitar 1.400 keluarga yang sebagian besar keturunan transmigran pada masa pendudukan Belanda.

Kebanyakan dari penduduk Bagelen bermatapencaharian sebagai petani padi dan palawija. Sisanya, memilih bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta atau berwirausaha, seperti yang dilakoni Sutiyo. Lelaki kelahiran Begelen 54 tahun silam ini beristrikan Sumarni, yang juga warga keturunan transmigran. Pasangan ini dikaruniai delapan anak, namun yang masih tinggal dengan mereka hanya dua orang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Sutiyo membuka usaha bengkel las sederhana dengan alat-alat kerja seadanya. Dari hasil kerja keras, Sutiyo mampu menghidupi keluarga dan menggaji empat orang pekerja. Bahkan, Sutiyo mampu menyekolahkan seorang anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Lampung. "Setelah dipotong untuk membayar gaji kawan-kawan, masih ada sisa untuk makan dan biaya anak-anak sekolah," ujar Sutiyo.

Seperti kebanyakan warga Bagelen, Sutiyo tidak terlalu mengenal leluhurnya di Pulau Jawa. "Kami sudah nggak ngerti lagi leluhur kami di Jawa. Banyak yang lahir di sini, sampai mati nggak pernah ke Jawa," kata Sutiyo. Namun, bukan berarti ia tidak peduli dengan asal-usulnya. Hanya, Sutiyo mengaku, enggan pindah ke Jawa. Sebab, menjalani hidup di Lampung sudah cukup memuaskan. Apalagi, jika harus pulang ke Jawa, ia harus memulai hidup dari awal lagi. "Jauh lebih enak di sini. Di Jawa kan sudah padat penduduknya," ujar lelaki berkulit sawo matang ini.

Tak jauh dari rumah Sutiyo, tinggal Keluarga Muhammad Idris. Tidak seperti Sutiyo, Muhammad bekerja sebagai penilik sekolah dasar dan taman kanak-kanak wilayah Gedong Tataan, Lampung. Setiap pagi, Muhammad pergi ke kantor dengan sepeda motor. Sebelum menjadi penilik, Muhammad sempat menjadi kepala sekolah dasar selama 14 tahun. Kecintaannya pada pendidikan anak-anak mendorong Muhammad menyediakan waktu dan tenaga untuk mengajar mengaji. Setelah beristirahat sepulang kerja, Muhammad dan istrinya, Setiarsih, mengajar anak-anak Desa Bagelen membaca Al Quran. Untuk keperluan ini, Muhammad menyediakan ruangan khusus berukuran 35 meter persegi di samping rumah. Untuk menambah penghasilan, Muhammad membuka usaha warung telekomunikasi, meski dengan sebuah pesawat telepon.

Seperti tetangganya Sutiyo, Muhammad juga merasa berkecukupan tinggal di Bagelen, meski tidak hidup dalam kemewahan. "Saya merasa cukup, terutama bisa hidup tentram bersama keluarga," kata Muhammad. Karenanya, Muhammad bertekad menghabiskan sisa hidup di Bagelen. Tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya untuk kembali ke Pulau Jawa, tempat leluhurnya berasal. "Keluarga saya sudah di sini semua, di Jawa sudah nggak ada lagi," ujar Muhammad.

Sayangnya, tidak semua transmigran hidup dalam kondisi yang berkecukupan. Ratusan kilometer dari Desa Bagelen, tepatnya di Desa Ringin Sari, Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang, sejumlah keluarga transmigran masih sulit mewujudkan impian sederhana: mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini dialami Misno dan ratusan Warga Ringin Sari lainnya. Mereka adalah transmigran asal Jawa yang sempat menghuni lokasi transmigrasi Sendang Baru, Lampung Tengah. Puluhan tahun silam, pemerintah memindahkan para transmigran dengan alasan lahan subur yang mereka tempati, termasuk kawasan hutan lindung. Dengan berat hati, Misno pun terpaksa meninggalkan Sendang Baru. Padahal, di lokasi lama itu, ratusan batang pohon kopi yang ia tanam di lahan seluas empat hektare tinggal dipetik hasilnya. "Tidak ada ganti rugi dari pemerintah," kata Misno.

Menurut pengakuan Misno, pemerintah memang membekali pakaian satu setel, cangkul, kampak, beras, kelambu, wajan, periuk dan mencukupi kebutuhan makan selama setahun dengan perjanjian setelah itu harus mandiri. Namun, tanah di kawasan ini tidak subur. Untuk bisa ditanami, lahan harus diberi pupuk terlebih dahulu. Sedangkan untuk membeli pupuk mereka tidak mampu. "Udah mandiri ya kelabakan," ujar Misno. Kini, untuk bertahan hidup, Misno yang telah tinggal di Ringin Sari selama hampir 20 tahun, terpaksa bertanam singkong. Sebab, untuk menanam padi tidak mungkin. Sebelumnya, Misno pernah mencoba menanam padi gogo rancah. Namun, hasilnya tidak setimpal dengan kerja keras yang dikeluarkan. Buntutnya, Misno dan keluarganya terpaksa makan nasi bercampur tiwul atau oyek untuk menghemat biaya hidup. "Kalau bisa menanam padi, sebetulnya saya tidak mau makan oyek," tutur Misno.

Untuk menghidupi keluarganya, Misno tak hanya bertanam singkong. Ia juga bekerja setengah hari sebagai buruh di pabrik penggilingan padi. Sayangnya, tidak setiap hari orang datang ke pabrik penggilingan tempat Misno bekerja. "Kalau tidak dapat kerjaan, ya ngutang dulu ke warung," kata Misno. Untuk meringankan beban, setiap hari istri Misno, Yatinah meninggalkan rumah saat pagi buta bekerja sebagai buruh harian lepas di sebuah perkebunan kelapa sawit. Bersama teman-temannya, Yatinah memungut sawit yang rontok atau membabat rumput di perkebunan sawit hingga menjelang petang. "Kalau pas ada rezeki, bisa dapat upah Rp 12.500 sehari. Tapi kalau sedang anjlok, Rp 5.000-7000 juga sering," kata Yutinah. Sebagai istri, Yatinah ikhlas mendampingi suami dan lima anaknya. "Sebenarnya banyak kekurangan, tapi keadaannya memang seperti ini," ujar Yatinah terisak. Namun, betapa pun beratnya kehidupan, Yatinah tidak mau kembali ke tanah kelahirannya, Kebumen, Jawa Tengah. Alasannya, Yatinah malu kepada saudara-saudaranya di Kebumen yang hidup serba kecukupan.

Roda kehidupan belum berhenti berputar sebelum napas terhenti. Itulah sebabnya, keluarga Misno dan transmigran lain tak mau menyerah pada keadaan. Karena esok adalah dunia penuh harapan. Kerja keras masih menjadi tekad demi kehidupan yang lebih baik buat mereka.(ZAQ)

source : http://www.liputan6.com/progsus/?id=39068


0 comments:

FEEDJIT Live Traffic Map FEEDJIT Live Traffic Feed FEEDJIT Recommended Reading

Blogspot Template by Isnaini Dot Com